Pengembangan Ilmu Akuntansi

Hakikat pendidikan sebenarnya merupakan salah satu media untuk melakukan transfer pengetahuan dan perilaku dalam realitas yang sesuai nilai-nilai sosial masyarakat. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa pendidikan tidaklah bebas nilai (value free) tetapi sangat dipengaruhi nilai-nilai yang ada di lingkungan sosialnya (value laden). Ketika pendidikan akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi kapitalisme Barat, maka karakter sistem pendidikan akuntansi pasti kapitalistik pula. Pendidikan akuntansi saat ini memang merupakan gambaran, imagi dari aktivitas praktis-empiris realitas kapitalisme di atas. Filosofi akademis dan konten pendidikan akuntansi merupakan komplemen dan respon dari aplikasi praktis berbasis otoritarian paternalistik abad 19 untuk melayani kepentingan korporasi (Mayper et.al. 2005) serta diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam memahami kepentingan ekonomi (Amernic dan Craig 2004). Kondisi ini telah berlangsung lama dan menjadi “dogma” akuntansi dan dilihat sebagai evolusi pendekatan ekonomi positivistik (Truan dan Hughes 1999). Tidakkah perlu sesuatu yang lebih jika hanya transfer pengetahuan berbasis kepentingan ekonomi saja dalam pendidikan akuntansi karena pendidikan yang dimaksud oleh seluruh rakyat Indonesia telah terpancar dalam UUD 1945 dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Keduanya menegaskan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sana tersirat pesan keutuhan sosok manusia terdidik. Artinya dalam konteks pendidikan akuntansi juga perlu pemahaman yang lebih daripada hanya memahami akuntansi yang terlokalisir untuk kepentingan ekonomi saja.

Peran Pendidikan Akuntansi dalam Pengembangan Kecerdasan

Peran Pendidikan Akuntansi dalam Mengembangkan Kecerdasan Ibarat ruh (jiwa) dan tubuh fisik pada manusia yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, penyelenggaraan pendidikan akuntansi Indonesia harusnya juga demikian. Pendidikan akuntansi Indonesia harus memiliki “ruh” yang berlaku sepanjang masa dan melekat pada seluruh “tubuh” dalam bentuk (seperti jenjang, jenis, dll) pendidikan akuntansi di Indonesia bisa dikatakan sebagai “Ruh” yang berarti pendidikan yang berkesadaran akan ketuhanan tanpa mengabaikan kesadaran sebagai manusia yang bermoral serta pengembangan potensi kecerdasan tanpa mengutamakan salah satunya. Dengan “ruh” pendidikan di atas dan melekat pada setiap “tubuh” bentuk-bentuk pendidikan akuntansi, sudah menjadi kewajiban bila pendidikan akuntansi segera menemukan kodrat (potensi, bakat, kompetensi) dari peserta didik. Peserta didik memiliki hak mutlak untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain yang bukan dirinya, yaitu diri yang selalu berkesadaran ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan sosial. Proses pendidikan yang baik akan sangat membantu dalam menemukan dan mengaktualisasikan kodrat peserta didik diatas, yaitu yang pada dirinya selalu berkesadaran ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, pendidikan akuntansi Indonesia harus dilakukan secara terpadu (integral) dan utuh (holistic) dari semua upaya untuk mengembangkan seluruh kecerdasan agar kodrat peserta didik dapat diaktualisasikan dalam kehidupan professi dan kehidupan sehari-hari. Proses pendidikan akuntansi Indonesia selayaknya memperhatikan berbagai bentuk kecerdasan dalam kesatuan yang utuh. Pemisahan satu (atau lebih) bentuk kecerdasan dari yang lain hanya akan mengakibatkan terabaikannya penemuan kodrat sejati, yang pada akhirnya juga mengaburkan penemuan diri sejati. Proses pendidikan yang terpadu dan utuh mampu memberdayakan semua bentuk kecerdasan manusia sekaligus menyatukannya dan sinkron dengan posisi kepribadian, tempat, dan waktu dimana peserta didik berada. Komposisi kecerdasan yang tepat pada setiap jenjang dan jenis pendidikan akuntansi sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan akuntansi ini (KNPAI, 2012).

Pendidikan Akuntansi di Indonesia

Akuntansi merupakan produk yang dibangun dan berkembang dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dimana akuntansi dan sistem akuntansi dikembangkan (Tinker,1980 dan Sukoharsono, 2009:2,2010). Pendidikan akuntansi dan sistem pendidikan akuntansi negara “barat”, dituturkan oleh Mulawarman (2008a:149,2012), diadopsi di Indonesia memang membawa nilai-nilai “sekularisasi” konsekuensi yang terjadi hanya akan mengarahkan pendidikan akuntansi sebagai “perangkap hegemoni korporasi” (Mayper et al, 2005) serta mengisi pemahaman kepada peserta didik untuk memenuhi “kepentingan ekonomi (Armenic dan Craig, 2004) dan pemahaman untuk menikmati “kesejahteraan materi” (Triyuwono, 2006a:5). Ketika berbicara akuntansi, tidak ada kekuasaan Allah SWT di sana, tidak ada nilai luhur indonesia dan nilai yang merekat erat dalam karakter Pendidikan akuntansi seharusnya dilakukan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003, yaitu pendidikan yang menjadi media untuk menumbuhkan potensi holistik peserta didik yang memiliki keseimbangan spiritual, mental, moral, kecerdasan dan ketrampilan (Hamzah, 2008). Ada sebuah konsep pendidikan yang diusulkan oleh Al-Attas (dalam Kamayanti, 2012:7) untuk menghapuskan sekularisasi dalam pendidikan yaitu dengan menyadarkan pendidik terlebih dahulu. Pendidik haruslah menyadari bila pendidikan ada untuk membentuk sebuah peradaban yang bermartabat, bersatu padu dengan adab mencerminkan kearifan, dan sehubungan dengan masyarakat adab adalah perkembangan tata-tertib yang adil di dalamnya. Jadi adab adalah lukisan (marsyhad) keadilan yang dicerminkan oleh kearifan. Ini adalah pengakuan atas berbagai hierarki (maratib) dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan dan perbuatan seiiring dengan pengakuan itu, pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia ini adalah ta’dib. Setiap diri manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Setiap diri yang sadar mempunyai kewajiban untuk membangun peradaban yang lebih baik, karena dirinya adalah bagian dari masyarakat, wujud, eksistensi dan pengetahuan yang kesemuanya itu direalisasikan dalam tindakan (Kamayanti, 2012:7).

Pengembangan Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan ini mengajak seseorang untuk berpikir melihat suatu kebenaran atas dasar pemikirannya. Atas dasar demikian menjadi wajar bila kecerdasan ini erat hubungannya dengan kemampuan manusia untuk belajar dan menciptakan sesuatu tidak terkecuali di bidang ilmu pengetahuan (Mahayana et al, 2003:11). Contoh yang sangat sederhana adalah ilmu akuntansi. Akuntansi mainstream-meminjam istilah Wai Fong Chua-dibentuk atas seperangkat asumsi filosofis tentang pengetahuan, kemanusiaan, dan realitas sosial sebagaimana ilmuilmu pengetahuan modern dibentuk, sarat dengan budaya ilmiah yang disertai objektifikasi, penjarakan serta kuantifikasi (Chua, 1986:606-608). Sosok ilmu yang ditampilkan dengan bahasa numerik, hadir dalam angka-angka beku, dan memandang manusia secara sederhana sebagai spesies yang murni rasional untuk memaksimalkannya. Mencetak cara pandang akuntansi yang melulu memotret realistis secara sepihak, dalam analisis “ilmiah” berdasarkan dokumentasi moneter dan angka-angka. Berfungsi utamanya untuk menyajikan informasi kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan, dari suatu korporasi yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan ekonomi di antara berbagai alternatif (Sukoharsono, 2009:1). Dalam penelitian ini saya berusaha mengungkap pandangan mahasiswa dalam memahami akuntansi. Pemahaman mereka dalam memaknai akuntansi diperoleh dari berbagai macam pengalamannya selama proses belajar akuntansi yang digeluti. Pemahaman tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai sumber yang menjadi interpretasi mereka atas akuntansi itu sendiri, tidak ada yang salah, murni adanya dan keluar dari pengalamannya sebagai mahasiswa.

Pengembangan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan emosi sebagai energi efektif dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi penting peranannya karena bila kita tidak memilikinya, keseimbangan hidup terganggu karena berkenaan dengan sikap kita terhadap lingkungan sekitar dan sosial (Puspita, 2012). Kecerdasan emosional dalam memahami dan mempraktikkan akuntansi dapat dihubungkan dengan sifat tamak dan egois manusia, setidaknya bisa bercermin dari tindakan korupsi yang hingga saat ini menjadi salah satu polemik yang tidak kunjung usai (Ludigdo, 2004:136 dan Mulia, 2013). Lalu terkait dengan sifat-sifat tersebut seharusnya berpijak dari berbagai prinsip etika yang dibangun untuk tidak mengejar kepentingan tertentu, oleh karenanya akuntan haruslah menjadi kreator terwujudnya tata kehidupan yang lebih beradab melalui otoritas keilmuan dan keahliannya. Dalam konteks ini salah satu contohnya adalah kejujuran. Kejujuran meskipun acapkali sering terdesak oleh kuatnya ambisi kekuasan dan pengaruh duniawi, namun kita dapat yakini bila kejujuran tidak akan pernah musnah, kejujuran haruslah menjadi cara hidup kita. Dan bukankah ini juga diajarkan di berbagai ajaran agama, dalam Islam lihatlah makna yang terkandung dalam surat Al-Baqarah: 282. Dalam konteks akuntansi peneliti memberikan contoh, yaitu terkait dengan penyusunan laporan keuangan perusahaan. Terkadang dalam praktiknya adanya “kebebasan” manajemen dan intervensi dari pihak internal dan eksternal untuk melaporkan hasil menguntungkan mendorong manajemen untuk menginvertensi pelaporan keuangan (Prasetyo, 2012). Prasetyo (2012) menambahkan, ketidakjujuran dalam pengungkapan informasi hanya akan menyebabkan timbulnya keraguan serta kerugian bagi pemakai, pengguna hanya akan mendapat informasi yang tidak sebenarnya dan bisa berdampak pada pengambilan keputusan ekonomi setelahnya. Kejujuran merupakan suatu nilai yang tertanam pada setiap individu. Ketika nilai ini diterapkan pada penyusunan kinerja keuangan maka akan berpengaruh pada karakteristik individu penyusun untuk selalu bertanggungjawab terhadap hasil yang dikerjakan, membuatnya dipercaya dan menjadikan suasana kerja saling mempercayai. Akuntan bukanlah orang bodoh yang tidak tahu mana celah-celah akuntansi yang sekiranya dapat dipermainkan, akan tetapi yang diinginkan dari seorang akuntan adalah menjadi pribadi yang mulia dan bermanfaat bagi orang banyak, sebaik-baiknya orang adalah yang bermanfaat bagi lainnya.

Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual menurut Agustian (2005) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran ketuhanan. Kebutuhan bertuhan merupakan kebutuhan yang tak terelakkan pada manusia dan manusia membutuhkan itu (lihat Sukoharsono, 2008, 2009). Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 bahwa tuhan itu ada. Tuhan itu ada dan maha mengetahui segala sesuatu yang dilakukan umatnya, bertaqwalah dan jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang merugikan kepadanya. Dalam konteks memahami dan mempraktikkan akuntansi, jika setiap individu menyadari akan perannya sebagai manusia yang baik dan kesadarannya akan tuhan yang selalu mengawasi gerak-gerik umatnya setiap saat kesadaran ini akan membuat seseorang berpikir dua kali bila ingin melakukan perbuatan yang merugikan, bukan karena tekanan duniawi namun sebagai patuhnya terhadap keberadaan tuhan. Ajaran agama dan ajaran moral mana pun pastilah menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, ketulusan, rendah hati, menghargai harkat kemanusiaan, rela berkorban demi kemaslahatan orang banyak, dan semacamnya. Nilai-nilai pribadi spiritual ini bersifat universal melintasi segala zaman dan tempat. Kecerdasan spiritual dalam akuntansi peneliti mencoba memberikan contoh terkait dengan penyusunan laporan keuangan perusahaan. Jika perusahaan ingin langgeng, pencapaian kebijakan perusahaan harus menjunjung tinggi nilai pribadi spiritual yang bersifat langgeng, terutamannya pada penyusun laporan keuangan akan menurunkan praktik penyelewengan (fraud) dan memberikan informasi yang dapat dipercaya di segala kebijakan (Swasembada, 2007:33,40 dalam Prasetyo, 2012). Ketika nilai-nilai spiritual diterapkan maka akan menghasilkan nilai-nilai organisasi yang memiliki tujuan tidak semata-mata mencetak profit, tetapi harus bisa membawa manusia yang terlibat di dalamnya dengan berusaha menyampaikan informasi keuangan yang mudah dipahami dengan tidak merugikan orang lain. Perusahaan yang tidak menumbuhkan nilainilai spiritualitas akan menganggap aturan penyusunan laporan keuangan lebih sebagai alat dan bukan nilai. Jika alat kemungkinan masih bisa direkayasa, contoh Enron yang memanipulasi laporan keuangannya (Prasetyo, 2012).

Pendidikan Akuntansi dan Pemahaman Mahasiswa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi adalah ilmu yang sarat nilai, akan tetapi nilai apa yang setiap mahasiswa yakini benar dalam memahami akuntansi kembali lagi bagaimana cara mereka menyerap ilmu yang mereka pelajari. Ketika pendidikan akuntansi yang sarat nilai dan dirasuki oleh akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi kapitalisme barat, maka karakter sistem pendidikan akuntansi menjadi kapitalistik pula. Akuntansi kapitalistik erat kaitannya dengan rasionalitas. Rasionalitas berkaitan erat dengan konsep Utilitarisme. Utilitarisme menurut Bertens (2000:66-67), sebagai teori etika cukup dekat dengan cost-benefit analysis yang selalu berpikiran ekonomis, memperhitungkan untung dan rugi atas suatu tindakan, biasanya dipakai dalam konteks bisnis. Manusia adalah mahkluk yang membutuhkan penyelarasan konsep duniawi (EQ dan IQ) dan konsep spiritual (SQ). Adalah pemahaman yang salah bila insan pendidikan menganggap kecerdasan intelektual adalah yang utama, sementara sisi rasa dan batin justru dipinggirkan. Ketika kecerdasan intelektual menjadi hegemoni yang kuat, disadari atau tidak hal ini juga menindas sistem pendidikan dan merasuki juga pada peserta didik. Dalam hasil temuan yang lain, penelitian ini mengeksplorasi salah satu informan yang menurut peneliti ber-perspektif intelektualnya sangat kuat dari jawaban yang dikeluarkan. Pemahaman Akuntansi dari perspektif Kecerdasan Intelektual.

Kecerdasan intelektual mengajak seseorang untuk berpikir melihat suatu kebenaran atas dasar pemikirannya. Atas dasar demikian menjadi wajar bila kecerdasan ini erat hubungannya dengan kemampuan manusia untuk belajar dan menciptakan sesuatu tidak terkecuali di bidang ilmu pengetahuan (Mahayana et al, 2003:11), contoh yang sederhana adalah ilmu akuntansi itu sendiri. Akuntansi, dituturkan oleh Sukoharsono (2010), lebih sering dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan laporan keuangan yang terdiri dari laporan laba rugi dan neraca dengan berbagai macam proses yang dilalui. Agaknya pemaparan diatas tidak berbeda jauh dengan pendapat Michael dan Adit mengenai akuntansi itu sendiri. Michael dan Adit memahami akuntansi tidak lebih sebagai sebagai sarana untuk menghasilkan laporan keuangan. Sementara dua informan lainnya, yaitu Novan dan Reza, mereka berdua menuturkan kalau akuntansi tidak seharusnya dipahami sekedar untuk menghasilkan laporan keuangan semata namun lebih dari itu. Terlepas dari bagaimana pandangan mereka dalam memaknai akuntansi, tentunya hal tersebut murni adanya dan keluar dari pengalaman mereka dalam proses belajar akuntansi.

Pengembangan ilmu akuntansi sangatlah penting bagi mahasiswa untuk bias mengatur perekonomian bangsa dengan baik dengan kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual agar negeri ini bisa bebas dari korupsi. Selain itu juga bisa membuat bangsa Indonesia menjadi sebuah Negara yang maju dengan adanya pendidikan yang baik di Indonesia.

Referensi :

file:///C:/Users/User/Downloads/1545-3029-1-SM.pdf

file:///C:/Users/User/Downloads/20130819001.pdf

https://sugiyati089.wordpress.com/artikel-pendidikan-ekonomi-akuntansi/

http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/1545/1414

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.